Nama : Faruq Kasyfi
NPM : 22211720
Kelas : 2EB08
Posting 4 jurnal 2
PARADIGMA
PENYELESAIAN SENGKETA
PERBANKAN SYARIAH
DI INDONESIA
Oleh : Suhartono, S.Ag.,SH.,MH.
(Hakim PA Martapura)
1.2 Alternatif Penyelesaian Sengketa
Di dalam terminologi
Islam dikenal dengan Ash-Shulhu, yang berarti memutus pertengkaran atau
perselisihan. Dalam pengertian syariat ash-shulhu adalah suatu jenis
akad (perjanjian) untuk mengakhiri perlawanan (sengketa) antara 2 (dua) orang
yang bersengketa.
Alternatif penyelesaian
sengketa hanya diatur dalam satu pasal, yakni Pasal 6 Undang-Undang No.30 Tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian sengketa yang menjelaskan
tentang mekanisme penyelesaian sengketa. Sengketa atau beda pendapat dalam
bidang perdata Islam dapat diselesaikan oleh para pihak melaui Alternative Penyelesaian
Sengketa yang didasarkan pada iktikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian
secara litigasi.
Apabila sengketa
tersebut tidak dapat diselesaikan, maka atas kesepakatan tertulis para pihak,
sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seseorang atau lebih
penasehat ahli maupun melalui seorang mediator. Apabila para pihak tersebut
dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari dengan bantuan seorang atau
lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator tidak berhasil juga
mencapai kata sepakat, atau mediator tidak berhasil mempertemukan kedua belah
pihak, maka para pihak dapat menghubungi lembaga Alternative Penyelesaian Pengketa
untuk menunjuk seorang mediator.
Setelah penunjukan
mediator oleh lembaga Alternative Penyelesaian Sengketa, dalam waktu paling
lama 7 (tujuh) hari usaha mediasi harus sudah dapat dimulai.
Usaha penyelesaian
sengketa atau beda pendapat melalui mediator tersebut dengan memegang teguh kerahasiaan,
dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari harus tercapai kesepakatan dalam
bentuk tertulis yang ditandatangani oleh kedua belah pihak yang terkait.
Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah
final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan iktikad baik serta
wajib didaftarkan di Pengadilan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari
sejak penandatanganan. Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat
tersebut wajib selesai dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh)
hari sejak penandatanganan.
Tidak seperti arbiter
atau hakim, seorang mediator tidak membuat keputusan mengenai sengketa yang
terjadi tetapi hanya membantu para pihak untuk mencapai tujuan mereka dan
menemukan pemecahan masalah dengan hasil win-win solution.Tidak ada pihak yang kalah atau yang menang, semua sengketa diselesaikan dengan
cara kekeluargaan, sehingga hasil keputusan mediasi tentunya merupakan konsensus
kedua belah pihak. Pemerintah telah mengakomodasi kebutuhan terhadap mediasi
dengan megeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 02 Tahun 2003 tentang
Prosedur Mediasi di Pengadilan.
Kecenderungan memilih
Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative Dispute Resulotion) oleh
masyarakat dewasa ini didasarkan pada:
1. Kurang percayanya pada sistem
pengadilan dan pada saat yang sama kurang dipahaminya keuntungan atau kelebihan
sistem arbitrase di banding pengadilan, sehingga masyarakat pelaku bisnis lebih
mencari alternative lain dalam upaya menyelesaikan perbedaan-perbedaan pendapat
atau sengketa-sengketa bisnisnya;
2. Kepercayaan masyarakat terhadap
lembaga arbitrase mulai menurun yang disebabkan banyaknya klausul-klausul
arbitrase yang tidak berdiri sendiri, melainkan mengikuti dengan klausul
kemungkinan pengajuan sengketa ke pengadilan jika putusan arbitrasenya tidak
berhasil diselesaikan.
Model yang dikembangkan
oleh Alternatif Penyelesaian Sengketa memang cukup ideal dalam hal konsep,
namun dalam prakteknya juga tidak menutup kemungkinan terdapat kesulitan jika
masing-masing pihak tidak ada kesepakatan atau wanprestasi karena kesepakatan
yang dibuat oleh para pihak dengan perantara mediator tidak mempunyai kekuatan
eksekutorial.
Apabila jalur arbitrase
dan alternative penyelesaian sengketa tidak dapat menyelesaikan perselisihan,
maka lembaga peradilan atau jalur litigasi adalah gawang terakhir sebagai
pemutus perkara.
2. Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Melalui
Jalur Litigasi
Mengenai badan peradilan
mana yang berwenang menyelesaikan perselisihan jika terjadi sengketa perbankan
syariah memang sempat menjadi perdebatan di berbagai kalangan apakah menjadi
kewenangan Pengadilan Umum atau Pengadilan Agama karena memang belum ada
undang-undang yang secara tegas mengatur hal tersebut, sehingga masing-masing
mencari landasan hukum yang tepat.
Dengan diamandemennya Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama, maka perdebatan mengenai siapa yang berwenang untuk menyelesaikan
sengketa perbankan syariah sudah terjawab.
Landasan Yuridis dan Kompetensi
Pengadilan Agama
Amandemen Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 memberikan wewenang kekuasaan Peradilan Agama bertambah luas, yang
semula sebagaimana diatur dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 hanya
bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara ditingkat
pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang : a) perkawinan, b)
kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, dan c)
wakaf dan shadaqah. Dengan adanya amandemen Undang-Undang tersebut, maka ruang
lingkup tugas dan wewenang Peradilan Agama diperluas. Berdasarkan Pasal 49
huruf (i) UU No. 3 Tahun 2006 Pengadilan Agama bertugas dan berwenang
memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara
orang-orang yang beragama Islam dalam bidang ekonomi syari’ah yang meliputi: a)
bank syari’ah, b) lembaga keuangan mikro syari’ah, c) asuransi syari’ah, d)
reasuransi syari’ah, e) reksa dana syari’ah, f) obligasi syari’ah dan surat
berharga berjangka menengah syari’ah, g) sekuritas syari’ah, h) pembiayaan
syari’ah, i) pegadaian syari’ah, j) dana pensiun lembaga keuangan syari’ah, dan
k) bisnis syari’ah.
Dalam penjelasan Pasal tersebut
antara lain dinyatakan: “Yang dimaksud dengan “antara orang-orang yang
beragama Islam” adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya
menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang
menjadi kewenangan Pengadilan Agama sesuai ketentuan Pasal ini.”
Dari penjelasan Pasal 49 tersebut,
maka seluruh nasabah lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syariah, atau bank
konvensional yang membuka unit usaha syariah dengan sendirinya terikat dengan
ketentuan ekonomi syariah, baik dalam pelaksanaan akad maupun dalam
penyelesaian perselisihan.
- Sengketa di bidang ekonomi syariah antara lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syariah dengan nasabahnya;
- Sengketa di bidang ekonomi syariah antara sesame lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syariah;
- Sengketa di bidang ekonomi syariah antara orang-orang yang beragama Islam, yang mana akad perjanjiannya disebutkan dengan tegas bahwa kegiatan usaha yang dilakukan adalah berdasarkan prinsip-prinsip syariah.
Selain dalam hal kewenangan
sebagaimana diuraikan di atas, Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 juga mengatur
tentang kompetensi absolute (kewenangan mutlak) Pengadilan Agama. Oleh karena
itu, pihak-pihak yang melakukan perjanjian berdasarkan prinsip syariah (ekonomi
syariah) tidak dapat melakukan pilihan hukum untuk diadili di Pengadilan yang
lain. Apalagi, sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Umum UU No. 3 Tahun 2006
alenia ke-2, pilihan hukum telah dinyatakan dihapus.
Oleh karena itu dalam draft-draft
perjanjian yang dibuat oleh beberapa perbankan syariah berkaitan dengan
perjanjian pembiayaan murabahah, akad mudharabah dan akad-akad yang lain yang
masih mencantumkan klausul Penyelesaian sengketa di Pengadilan Negeri apabila
BASYARNAS tidak dapat menyelesaikan sengketa maka seharusnya jika mengacu pada
Penjelasan Umum UU No. 3 Tahun 2006 alenia ke-2, maka klausul tersebut dirubah
menjadi kewenangan Pengadilan Agama dalam menyelesaikan sengketa tersebut.
[1] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah
(Terjemahan Jilid 13), (Bandung:PT.
Al-Ma’arif), 1997, hal. 189.
[2] Karnaen Perwataatmadja dkk., Op.Cit.,
hal. 292.
[3] Suyud Margono, ADR dan Arbitrase
(Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum), (Jakarta:Ghalia
Indonesia),
2000, hal. 82
[4] Suhartono, Prospek
Legislasi Fikih Muamalah Dalam Sistem Hukum Nasional, www.Badilag.net tgl. 31-10-2007
[5] Abdul Manan, Beberapa Masalah
Hukum dalam Praktek Ekonomi Syariah, Makalah Diklat Calon Hakim Angkatan-2
di Banten, 2007, hal. 8
[6] Ibid, hal. 9.