Nama : Faruq Kasyfi
NPM : 22211720
Kelas : 2EB08
Posting 5 jurnal 2
PARADIGMA
PENYELESAIAN SENGKETA
PERBANKAN SYARIAH
DI INDONESIA
Oleh : Suhartono, S.Ag.,SH.,MH.
(Hakim PA Martapura)
Keunggulan
dan Kelemahan Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Melalui Pengadilan Agama
Keunggulan-keunggulan Pengadilan
Agama dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah antara lain:
- Pengadilan Agama memilki SDM yang sudah memahami permasalahan syariah, tinggal meningkatkan wawasan dan pengetahuan mereka melalui pendidikan dan pelatihan secara berkala;
- Kendatipun RUU tentang ekonomi syariah belum disahkan namun Pengadilan Agama mempunyai hukum materiil yang cukup established, khususnya yag berkaitan dengan ekonomi syariah, diantaranya berupa kitab-kitab fikih muamalah yang dalam penerapannya masih kontekstual;
- Keberadaan kantor Pengadilan Agama hampir meliputi semua wilayah Kabupaten dan Kotamadia di seluruh wilayah Indonesia dan sebagian besar telak mengaplikasikan jaringan Teknologi Informasi (TI) dengan basis internet, sehingga apabila dibandingkan dengan BASYARNAS yang keberadaannya masih terkonsentrasi di wilayah ibukota, maka Pengadilan Agama mempunyai keunggulan dalam kemudahan pelayanan.
- Mendapat dukungan mayoritas penduduk Indonesia, yaitu masyarakat muslim yang saat ini sedang mempunyai semangat tinggi dalam menegakkan nilai-nilai agama yang mereka anut;
- Adanya dukungan politis yang kuat karena pemerintah dan DPR telah menyepakati perluasan kewenangan Peradilan Agama tersebut pada tanggal 21 Februari 2006 sehingga lahirnya UU No. 3 Tahun 2006 adalah suatu keniscayaan untuk menyesuaikan terhadap tuntutan hukum yang ada, yakni perubahan paradigma dari peradilan keluarga menuju peradilan modern.
- Adanya dukungan dari otoritas Perbankan (Bank Indonesia) dan dukungan dari Lembaga Keuanan Islam di seluruh dunia;
Disamping adanya kelebihan dan
keunggulan di atas, Peradilan Agama juga memiliki beberapa kelemahan terhadap
kewenangannya dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah –khususnya perbankan
syariah- yaitu:
- Belum ada regulasi atau peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang ekonomi syariah, sehingga dengan adanya beragam rujukan kitab hukum, dimungkinkan akan muncul putusan yang berdisparitas dalam kasus yang sama. Hal ini bukan saja membingungkan umat, tetapi juga tidak menguntungkan dalam dunia bisnis, sehingga dikhawatirkan memunculkan sikap trauma bagi para pelaku ekonomi syariah untuk berperkara di Pengadilan Agama.
- Aparat Peradilan Agama yang sebagian besar mempunyai background disiplin ilmu syariah dan hukum kurang memahami aktifitas ekonomi baik yang besifat mikro maupun makro, juga kegiatan di bidang usaha sektor riel, produksi, distribusi dan konsumsi;
- Aparat Peradilan Agama masih gagap terhadap kegiatan lembaga keuangan syariah sebagai pendukung kegiatan usaha sektor riel, seperti: Bank Syariah, Asuransi Syariah, Pegadaian Syariah, Multifinance, Pasar Mdal dan sebagainya;
- Pencitraan inferior terhadap Peradilan Agama yang dipandang hanya berkutat menangani masalah NCTR sulit dihapus, hal ini merupakan dampak dari kurangnya dukungan dari lembaga-lembaga terkait untuk mensososialisasikan UU No. 3 Tahun 2006.
- Sebagian besar kondisi gedung Kantor Pengadilan Agama dan sarana maupun prasarananya yang ada belum merepresentasikan sebagai lembaga yang mempunyai kewenangan mengadili para bankir dan para pelaku bisnis, oleh karenanya untuk merubah paradigma sebagai lembaga peradilan yang modern maka hal ini mutlak harus diperbaiki dan ditunjang oleh anggaran yang memadai untuk tahun-tahun yang akan datang;
- Performace aparat peradilan yang kurang meyakinkan, terutama dari segi penampilan dan cara berpakaian mereka yang masih sangat sederhana, hal ini semata-mata karena kesejahteraan mereka yang kurang memadai, sehingga dengan rencana tunjangan khusus bagi aparat peradilan diharapkan bukan saja meningkatkan performance mereka, tetapi lebih dari itu adalah untuk meningkatkan kinerja aparat peradilan demi menuju lembaga peradilan yang adil, jujur, berwibawa dan bebas korupsi sebagaimana amanat reformasi.
- Adanya aparat peradilan terutama sebagian hakim yang masih gaptek (gagap teknologi) menjadi kendala tersendiri bagi mereka yang akan menyelesaikan sengketa ekonomi syariah, karena pengetahuan ekonomi syariah bagi para hakim harus selalu up to date tentunya harus didukung oleh kemampuan mereka dalam mengakses informasi dari berbagai media terutama melalui internet. Untuk mengantisipasi hal tersebut nampaknya BADILAG cepat tanggap sehingga terus menggalakkan dengan lomba TI (Teknologi Informasi) bagi Peradilan Agama di seluruh Indonesia, himbauan BADILAG tesebut telah mendapatkan respon positif dan sebagian besar Peradilan Agama di seluruh Indonesia, hal ini terbukti dengan telah terbentuknya Tim TI di sebagian besar daerah-daerah yang jauh dari ibukota. Setidaknya adanya sayembara TI yang diadakan oleh BADILAG tersebut untuk memberikan stimulus bagi para aparat peadilan agama untuk berlomba-lomba mengakses informasi melalui internet.
C.
Penutup
Mengingat segala
kekuatan dan kelemahan yang dimiliki oleh lembaga peradilan, oleh sebagian
kalangan Peradlan Agama dipandang oleh sebagian kalangan sebagai lembaga
pilihan terbaik.
Penambahan kewenangan
Peradilan Agama di bidang ekonomi syariah sebagaimana amanat UU No. 3 Tahun
2006 adalah suatu bentuk kepercayaan terbesar terhadap lembaga peradilan yang
secara politis sejak zaman kolonial Belanda selalu didiskreditkan dan
didiskriminasikan.
Momentum ini hendaknya
dipandang sebagai amanah yang harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, karena
ini adalah pertaruhan bagi citra Peradilan Agama itu sendiri. Apabila
kepercayaan ini tidak disia-siakan dan dijawab dengan kinerja yang memuaskan,
maka ini bukan saja momentum bersejarah, namun menjadi tonggak baru yang
menentukan perjalanan sejarah Peradilan Agama ke depan. Apabila kepercayaan itu
sudah terbangun, Peradilan Agama mungkin saja akan diberi amanat baru yang
lebih besar –sekedar mengingatkan Mahkamah syar’iyah di Aceh telah diberi
kewenangan khusus untuk melaksanakan peradilan dibidang jinayah (pidana Islam)-
mungkin juga hal ini akan berimbas pada perluasan kewenangan Peradilan Agama secara
signifikan di waktu-waktu yang akan datang.
Stigma yang melekat pada
Pengadilan Agama sebagai lembaga yang inferior sedikit demi sedikit akan
terkikis dengan sendirinya apabila seluruh komponen Peradilan Agama saling bahu
membahu untuk menunjukkan kinerja bagus dan mendedikasikan sebagai persembahan
terbaik bagi negeri ini yang tak juga surut dirundung duka. Amien
DAFTAR
PUSTAKA
Ariyanto
dkk., Tak Sekadar Menangani Kawin Cerai
(Kolom Hukum), Trust Majalah Berita ekonomi dan Bisnis Edisi 27 Tahun IV,
17-23 April 2006.
Coulson, NJ. 1991. a History of Islamic Law, Edinburg University Press.
Manan,
Abdul. 2007. Beberapa Masalah Hukum dalam Praktek Ekonomi Syariah,
Makalah Diklat Calon Hakim Angkatan-2 di Banten.
Margono,
Suyud. 2000. ADR dan Arbitrase (Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum), Jakarta: Ghalia Indonesia.
M.
Thaher, Asmuni. Kendala-kendala Seputar Eksistensi Perbankan Syariah di
Indonesia, MSI-UII.Net-3/9/2004
Perwataatmaja,
Karnaen dkk. 2005. Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media.
Rosyadi,
A. Rahmat. 2002. Arbitrase dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif, Bandung: Citra Aditya
Bakti.
Sabiq,
Sayyid. 1997. Fikih Sunnah
(Terjemahan Jilid 13), Bandung:
PT. Al-Ma’arif.
Suhartono, Prospek Legislasi
Fikih Muamalah Dalam Sistem Hukum Nasional, www.Badilag.net diakses tgl. 31-10-2007
Sumitro,
Warkum. 2004. Asas-Asas Perbankan Islam & Lembaga-lembaga Terkait
(BAMUI, Takaful dan Pasar Modal Syariah di Indonesia), Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Syafe’i, Rachmat. Tinjauan Yuridis Terhadap Perbankan syariah, http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0305/21/0802.htm
Usman,
Rachmadi. 2002. Aspek-Aspek Hukum Perbankan Islam di Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti.
Widjaja,
Gunawan dan Ahmad Yani. 2000. Hukum Arbitrase, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar