Nama : Faruq Kasyfi
NPM : 22211720
Kelas : 2EB08
Posting 3 jurnal 2
PARADIGMA
PENYELESAIAN SENGKETA
PERBANKAN SYARIAH
DI INDONESIA
Oleh : Suhartono, S.Ag.,SH.,MH.
(Hakim PA Martapura)
Abstrak
Pengadilan sebagai the first and
last resort dalam penyelesaian sengketa ternyata masih dipandang oleh
sebagian kalangan hanya menghasilkan kesepakatan yang bersifat adversarial,
belum mampu merangkul kepentingan bersama, cenderung menimbulkan masalah baru,
lambat dalam penyelesaiannya, membutuhkan biaya yang mahal, tidak responsive,
menimbulkan antagonisme di antara pihak yang bersengketa, serta banyak
terjadi pelanggaran dalam pelaksanaannya. Hal ini dipandang kurang
menguntungkan dalam duniai bisnis sehingga dibutuhkan institusi baru yang dipandang
lebih efisien dan efektif.
Sebagai solusinya, kemudian
berkembanglah model penyelesaian
sengketa non litigasi, yang dianggap lebih bisa mengakomodir
kelemahan-kelemahan model litigasi dan memberikan jalan keluar yang lebih baik.
Proses diluar litigasi dipandang lebih menghasilkan kesepakatan yang win-win
solution, menjamin kerahasiaan sengketa para pihak, menghindari keterlambatan
yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif, menyelesaikan masalah
secara komprehensif dalam kebersamaan, dan tetap menjaga hubungan baik.
Tidak dipungkiri, selain
alasan-alasan di atas, dasar pemikiran lahirnya model penyelesaian sengketa
melalui jalur non litigasi seperti BAMUI yang pada akhirnya menjelma menjadi
BASYARNAS, saat itu memang belum ada lembaga hukum yang mempunyai kewenangan
absholut karena Peradilan umum tidak menggunakan perdata Islam (fikih muamalah)
dalam hukum formil maupun materiilnya, sedangkan Peradilan Agama saat itu
sebagaimana Pasal 49 ayat (1) UU No. 7/1989, kewenangannya masih terbatas
mengenai perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan shadaqah. Sehingga
lahirnya model BASYARNAS saat itu seakan-akan sebagai payung hukum alternatif
-jika tidak boleh dikatakan kondisi darurat-, ibarat pepatah: “tidak ada
rotan akar pun jadi”. Sedangkan saat ini kewenangan Peradilan Agama sudah
diperluas melalui UU No. 3 Tahun 2006 diantaranya adalah kewenangan mutlak mengadili perkara-perkara ekonomi syariah included
perbankan syariah, tentu saja hal ini memberikan paradigma berbeda dalam
penyelesaian sengketa perbankan syariah dibandingkan sebelum adanya
undang-undang tersebut.
Kata
Kunci: Paradigma, Penyelesaian sengketa, perbankan
syariah, arbitrase, Pengadilan Agama, BASYARNAS.
A.
Pendahuluan
Lahirnya UU No. 7 Tahun 1992, UU
No.10 Tahun 1998 dan UU No. 23 Tahun 1999 sebenarnya sudah menjadi dasar hukum
yang kuat bagi terselenggaranya perbankan syariah di Indonesia, kendatipun
masih ada beberapa hal yang masih perlu disempurnakan, diantaranya perlunya
penyusunan dan penyempurnaan ketentuan maupun perundang-undangan mengenai
operasionalisasi bank syari’ah secara tersendiri, sebab undang-undang yang ada
sesungguhnya merupakan dasar hukum bagi penerapan dual banking system.
Keberadaan bank syariah hanya
menjadi salah satu bagian dari program pengembangan bank konvensional, padahal
yang dikehendaki adalah bank syariah yang betul-betul mandiri dari berbagai
perangkatnya sebagai bagian perbankan yang diakui secara nasional. Karena
pengembangan perbankan syariah sendiri pada awalnya ditujukan dalam rangka
pemenuhan pelayanan bagi segmen masyarakat yang belum memperoleh pelayanan jasa
perbankan karena sistem perbankan konvensional dipandang tidak sesuai dengan
prinsip syariah yang diyakini.
Pengembangan perbankan syariah juga
dimaksudkan sebagai perbankan alternatif yang memiliki karakteristik dan
keunggulan tertentu. Unsur moralitas menjadi faktor penting dalam seluruh kegiatan
usahanya. Kontrak pembiayaan yang lebih menekankan sistem bagi hasil mendorong
terciptanya pola hubungan kemitraan (mutual investor relationship),
memperhatikan prinsip kehati-hatian dan berupaya memperkecil resiko kegagalan
usaha.
Selain penyempurnaan
terhadap sisi kelembagaan, perlu juga memperhatikan sisi hukum sebagai landasan
penyelenggaraannya hal ini untuk mengantisipasi munculnya
berbagai macam permasalahan dalam operasionalisasinya.
Pada awalnya yang menjadi kendala
hukum bagi penyelesaian sengketa perbankan syariah adalah hendak dibawa ke mana
penyelesaiannya, karena Pengadilan Negeri tidak menggunakan syariah sebagai
landasan hukum bagi penyelesaian perkara, sedangkan wewenang Pengadilan saat
itu menurut UU No. 7 Tahun 1989 hanya terbatas mengadili perkara perkawinan,
kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan shadaqah. Sehingga kemudian untuk
mengantisipasi kondisi darurat maka didirikan Badan Arbitrase Muamalah
Indonesia (BAMUI) yang didirikan secara bersama oleh Kejaksaan Agung RI dan
MUI, namun badan tersebut tidak bekerja efektif dan sengketa perdata di antara
bank-bank syariah dengan para nasabah diselesaikan di Pengadilan Negeri.
Sampai saat ini penyelesaian
sengketa perbankan syariah dapat dilakukan melalui dua model, yakni
penyelesaian secara litigasi dan non litigasi. Pilihan penyelesaian sengketa
non litigasi dapat dibagi dua, yaitu arbitrase dan alternatif penyelesaian
sengketa. Dari beberapa model penyelesaian sengketa tersebut masing-masing
memiliki kekurangan dan kelebihan dan akan diuraikan lebih lanjut dalam tulisan
ini.
B. Beberapa Pilihan Penyelesaian Sengketa
Perbankan syariah di Indonesia
dan berfungsi melaksanakan peradilan
hanya badan-badan peradilan yang dibentuk berdasarkan undang-undang. Diluar itu
tidak dibenarkan karena tidak memenuhi syarat formal dan official serta
bertentangan dengan prinsip under the authority of law. Namun
berdasarkan Pasal 1851,1855,1858 KUHPdt, Penjelasan Pasal 3 UU No. 14 Tahun
1970 serta UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, maka terbuka kemungkinan para pihak menyelesaikan sengketa dengan
menggunakan lembaga selain pengadilan (non litigasi), seperti arbitrase
atau perdamaian (islah).
Untuk memperjelas masing-masing kelebihan dan kelemahan baik model penyelesaian
sengketa melalui jalur litigasi maupun non litigasi maka perlu ditelaah satu
persatu:
Sumber :
1. Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Melalui
Jalur Non Litigasi
Di Indonesia,
penyelesaian sengketa melaui jalur non litigasi di atur dalam satu pasal, yakni
Pasal 6 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa.
1.1 Arbitrase
Dalam perspektif Islam
arbitrase dapat disepadankan dengan istilah tahkim. Tahkim
berasal dari kata hakkama, secara etimologis berarti menjadikan seseorang
sebagai pencegah suatu sengketa. Pengertian tersebut erat kaitannya dengan
pengertian menurut terminologisnya.
Lembaga ini telah dikenal sejak zaman pra Islam. Pada masa itu, meskipun belum
terdapat sistem peradilan yang terorganisir, setiap ada perselisihan mengenai
hak milik, waris dan hak-hak lainnya seringkali diselesaikan melalui bantuan
juru damai atau wasit yang ditunjuk oleh masing-masing pihak yang berselisih.
Gagasan berdirinya
lembaga arbitrase Islam di Indonesia, diawali dengan bertemunya para pakar,
cendekiawan muslim, praktisi hukum, para kyai dan ulama untuk bertukar pikiran
tentang perlunya lembaga arbitrase Islam di Indonesia. Pertemuan ini dimotori
Dewan Pimpinan MUI pada tanggal 22 April 1992. Setelah mengadakan beberapa kali
rapat dan setelah diadakan beberapa kali
penyempurnaan terhadap rancangan struktur organisasi dan prosedur beracara
akhirnya pada tanggal 23 Oktober 1993 telah diresmikan Badan Arbitrase Muamalat
Indonesia (BAMUI),sekarang telah berganti nama menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional
(BASYARNAS) yang diputuskan dalam Rakernas MUI tahun 2002. Perubahan bentuk dan
pengurus BAMUI dituangkan dalam SK MUI No. Kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 24
Desember 2003 sebagai lembaga arbiter yang menangani penyelesaian perselisihan
sengketa di bidang ekonomi syariah.
Kedudukan
BASYARNAS Ditinjau Dari Segi Tata Hukum Indonesia
UU No. 14 Tahun 1970
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman Pasal 10 ayat (1)
menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha
Negara. Namun demikian, di dalam Penjelasan Pasal 3 ayat (1) undang-undang
tersebut disebutkan antara lain, bahwa:
“Penyelesaian perkara di luar
pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui arbitrase tetap diperbolehkan,
akan tetapi putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah
memperoleh izin atau perintah untuk eksekusi (executoir) dari
pengadilan”
Selama ini yang dipakai sebagai
dasar pemeriksaan arbitrase di Indonesia adalah Pasal 615 sampai dengan Pasal
651 Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtvordering, Staatsblad
1847:52) dan Pasal 377 Reglemen Indonesia yang diperbaharui (Het Herziene
Indonesisch Reglement, Staatsblad 1941:44) dan Pasal 705 Reglemen Acara
untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement Buitengewesten,
Staatsblad 1927:227).
Dengan diberlakukannya
UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,
melalui Pasal 81 undang-undang tersebut secara tegas mencabut ketiga macam
ketentuan tersebut terhitung sejak tanggal diundangkannya. Maka berarti segala
ketentuan yang berhubungan dengan arbitrase, termasuk putusan arbitrase asing
tunduk pada ketentuan UU No. 30 Tahun 1999, meskipun secara lex spesialis
ketentuan yang berhubungan dengan (pelaksanaan) arbitrase asing telah diatur
dalam UU No. 5 Tahun 1968 yang merupakan pengesahan atas persetujuan atas
Konvensi tentang Penyelesaian Perselisihan Antar-Negara dan Warga Negara Asing
mengenai penanaman modal (International Centre for the Settlement of
Investment Disputes (ICSID) Convention), Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun
1981 tentang Pengesahan New York Convention 1958 dan Peraturan Mahkamah Agung
No. 1 Tahun 1990.
Menurut pendapat H.M.
Thahir Azhari, bahwa kehadiran Arbitrase Islam (BASYARNAS pen.) di Indonesia
merupakan suatu condition sine qua non, secara yuridis formal kedudukan
BASYARNAS dalam Tata Hukum Indonesia
memiliki landasan hukum yang kokoh.
Kewenangan BASYARNAS
BASYARNAS sebagai lembaga permanen
yang didirikan oleh Majelis Ulama Indonesia berfungsi menyelesaikan kemungkinan
terjadinya sengketa muamalat yang timbul dalam hubungan perdagangan, industri,
keuangan, jasa. Pendirian lembaga ini awalnya dikaitkan dengan berdirinya Bank
Muamalat Indonesia
dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah.
Disamping itu badan ini dapat
memberikan suatu rekomendasi atau pendapat hukum (bindend advice), yaitu
pendapat yang mengikat tanpa adanya suatu persoalan tertentu yang berkenaan
dengan pelaksanaan perjanjian” yang sudah barang tentu atas permintaan para
pihak yang mengadakan perjanjian untuk diselesaikan.
Apabila jalur arbitrase
tidak dapat menyelesaian perselisihan, maka lembaga peradilan adalah jalan
terakhir sebagai pemutus perkara tersebut. Hakim harus memperhatikan rujukan
yang berasal dari arbiter yang sebelumnya telah menangani kasus tersebut
sebagai bahan pertimbangan dan untuk menghindari lamanya proses penyelesaian.
Keunggulan dan Kekurangan BASYARNAS
1). Memberikan kepercayaan kepada para pihak,
karena penyelesaiannya secara terhormat dan bertanggung jawab;
2). Para pihak
menaruh kepercayaan yang besar pada arbiter, karena ditangani oleh orang-orang
yang ahli dibidangnya (expertise);
3). Proses pengambilan putusannya cepat, dengan
tidak melalui prosedur yang berbelit-belit serta dengan biaya yang murah;
4). Para pihak
menyerahkan penyelesaian persengketaannya secara sukarela kepada orang-orang
(badan) yang dipercaya, sehingga para pihak juga secara sukarela akan
melaksanakan putusan arbiter sebagai konsekuensi atas kesepakatan mereka
mengangkat arbiter, karena hakekat kesepakatan itu mengandung janji dan setiap
janji itu harus ditepati;
5). Di dalam proses arbitrase pada hakekatnya
terkandung perdamaian dan musyawarah. Sedangkan musyawarah dan perdamaian
merupakan keinginan nurani setiap orang.
6).
Khusus untuk kepentingan Muamalat Islam dan transaksi melalui Bank Muamalat Indonesia
maupun BPR Islam, Arbitrase Muamalat (BASYARNAS pen.) akan memberi peluang bagi
berlakunya hukum Islam sebagai pedoman penyelesaian perkara, karena di dalam
setiap kontrak terdapat klausul diberlakuannya penyelesaian melalui BASYARNAS.
Disamping
keunggulan-keunggulan di atas juga terdapat beberapa kelemahan. Apabila melihat
perkembangan BASYARNAS yang belum maksimal untuk mengimbangi pesatnya
perkembangan lembaga keuangan syariah di Indonesia, sebaiknya BASYARNAS
melakukan perapihan manajemen dan SDM yang ada. Apabila dibandingkan dengan
Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dan Badan Arbitrase Pasar Modal
Indonesia (BAPMI) yang relative baru berdiri, maka BASYARNAS masih harus
berbenah diri. Untuk dapat menjadi lembaga yang dipercaya masyarakat, maka
harus mempunyai performance yang baik, mempunyai gedung yang
representative, administrasi yang baik, kesekretariatan yang selalu siap
melayani para pihak yang bersengketa, dan arbiter yang mampu membantu
penyelesaian persengketaan mereka secara baik dan memuaskan. Kondisi intern
yang baik tersebut akan bertambah baik apabila didukung dengan law
enforcement dari pemerintah tentang putusan yang final and binding
dalam penyelesaian sengketa di arbitrase.
Selain itu sosialisasi
kebeadaan lembaga ini masih terbatas, menurut penulis upaya sosialisasi dalam
rangka penyebarluasan informasi dan meningkatkan pemahaman mengenai arbitrase
syariah dapat dilakukan secara kontinyu yang melibatkan banker, alim ulama,
tokoh masyarakat, pengusaha, akademisi dan masyarakat secara umum.
Keterbatasan Jaringan
kantor BASYARNAS di daerah hal ini juga menjadi kelemahan karena BASYARNAS baru
beroperasi di Jakarta,
pengembangan jaringan kantor BASYARNAS diperlukan dalam rangka perluasan
jangkauan pelayanan kepada masyarakat.
Sumber :
[1] Karnaen Perwataatmaja, dkk., Bank
dan Asuransi Islam di Indonesia,
(Jakarta:Prenada
Media), 2005, hal. 288.
[2] A. Rahmat Rosyadi, Arbitrase
dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif, (Bandung:Citra Aditya Bakti), 2002, hal. 43.
[3] NJ. Coulson, a History of
Islamic Law, (Edinburg:
University Press), 1991, hal. 10).
[4] Warkum Sumitro, Asas-Asas
Perbankan Islam & Lembaga-lembaga Terkait (BAMUI, Takaful dan Pasar Modal
Syariah di Indonesia), (Jakarta:Raja
Grafindo Persada), 2004, hal. 167.
[5] Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum
Arbitrase, (Jakarta:PT.
Raja Grafindo Persada), 2000, Cet. I hal. v-vi.
[6] A. Rahmat Rosyadi, Op.Cit.,
hal. 117.
[7] Rachmadi Usman, Aspek-Aspek
Hukum Perbankan Islam di Indonesia, (Bandung:PT.
Citra Aditya Bakti), 2002, hal. 105.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar