Senin, 06 Mei 2013

Posting 4 jurnal 2 PARADIGMA PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA



Nama : Faruq Kasyfi
NPM   : 22211720
Kelas   : 2EB08

Posting 4 jurnal 2
PARADIGMA PENYELESAIAN SENGKETA
PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA
Oleh : Suhartono, S.Ag.,SH.,MH.
(Hakim PA Martapura)
1.2 Alternatif Penyelesaian Sengketa
Di dalam terminologi Islam dikenal dengan Ash-Shulhu, yang berarti memutus pertengkaran atau perselisihan. Dalam pengertian syariat ash-shulhu adalah suatu jenis akad (perjanjian) untuk mengakhiri perlawanan (sengketa) antara 2 (dua) orang yang bersengketa.
Alternatif penyelesaian sengketa hanya diatur dalam satu pasal, yakni Pasal 6 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian sengketa yang menjelaskan tentang mekanisme penyelesaian sengketa. Sengketa atau beda pendapat dalam bidang perdata Islam dapat diselesaikan oleh para pihak melaui Alternative Penyelesaian Sengketa yang didasarkan pada iktikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi.
Apabila sengketa tersebut tidak dapat diselesaikan, maka atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seseorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator. Apabila para pihak tersebut dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari dengan bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator tidak berhasil juga mencapai kata sepakat, atau mediator tidak berhasil mempertemukan kedua belah pihak, maka para pihak dapat menghubungi lembaga Alternative Penyelesaian Pengketa untuk menunjuk seorang mediator.
Setelah penunjukan mediator oleh lembaga Alternative Penyelesaian Sengketa, dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari usaha mediasi harus sudah dapat dimulai.
Usaha penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui mediator tersebut dengan memegang teguh kerahasiaan, dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari harus tercapai kesepakatan dalam bentuk tertulis yang ditandatangani oleh kedua belah pihak yang terkait. Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan iktikad baik serta wajib didaftarkan di Pengadilan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penandatanganan. Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat tersebut wajib selesai dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penandatanganan.
Tidak seperti arbiter atau hakim, seorang mediator tidak membuat keputusan mengenai sengketa yang terjadi tetapi hanya membantu para pihak untuk mencapai tujuan mereka dan menemukan pemecahan masalah dengan hasil win-win solution.Tidak ada pihak yang kalah atau yang menang, semua sengketa diselesaikan dengan cara kekeluargaan, sehingga hasil keputusan mediasi tentunya merupakan konsensus kedua belah pihak. Pemerintah telah mengakomodasi kebutuhan terhadap mediasi dengan megeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 02 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
Kecenderungan memilih Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative Dispute Resulotion) oleh masyarakat dewasa ini didasarkan pada:
1.   Kurang percayanya pada sistem pengadilan dan pada saat yang sama kurang dipahaminya keuntungan atau kelebihan sistem arbitrase di banding pengadilan, sehingga masyarakat pelaku bisnis lebih mencari alternative lain dalam upaya menyelesaikan perbedaan-perbedaan pendapat atau sengketa-sengketa bisnisnya;
2.   Kepercayaan masyarakat terhadap lembaga arbitrase mulai menurun yang disebabkan banyaknya klausul-klausul arbitrase yang tidak berdiri sendiri, melainkan mengikuti dengan klausul kemungkinan pengajuan sengketa ke pengadilan jika putusan arbitrasenya tidak berhasil diselesaikan.

Model yang dikembangkan oleh Alternatif Penyelesaian Sengketa memang cukup ideal dalam hal konsep, namun dalam prakteknya juga tidak menutup kemungkinan terdapat kesulitan jika masing-masing pihak tidak ada kesepakatan atau wanprestasi karena kesepakatan yang dibuat oleh para pihak dengan perantara mediator tidak mempunyai kekuatan eksekutorial.
Apabila jalur arbitrase dan alternative penyelesaian sengketa tidak dapat menyelesaikan perselisihan, maka lembaga peradilan atau jalur litigasi adalah gawang terakhir sebagai pemutus perkara.

2. Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Melalui Jalur Litigasi

Mengenai badan peradilan mana yang berwenang menyelesaikan perselisihan jika terjadi sengketa perbankan syariah memang sempat menjadi perdebatan di berbagai kalangan apakah menjadi kewenangan Pengadilan Umum atau Pengadilan Agama karena memang belum ada undang-undang yang secara tegas mengatur hal tersebut, sehingga masing-masing mencari landasan hukum yang tepat.
Dengan diamandemennya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, maka perdebatan mengenai siapa yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah sudah terjawab.

Landasan Yuridis dan Kompetensi Pengadilan Agama
Amandemen Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 memberikan wewenang kekuasaan Peradilan Agama bertambah luas, yang semula sebagaimana diatur dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 hanya bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang : a) perkawinan, b) kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, dan c) wakaf dan shadaqah. Dengan adanya amandemen Undang-Undang tersebut, maka ruang lingkup tugas dan wewenang Peradilan Agama diperluas. Berdasarkan Pasal 49 huruf (i) UU No. 3 Tahun 2006 Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dalam bidang ekonomi syari’ah yang meliputi: a) bank syari’ah, b) lembaga keuangan mikro syari’ah, c) asuransi syari’ah, d) reasuransi syari’ah, e) reksa dana syari’ah, f) obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah, g) sekuritas syari’ah, h) pembiayaan syari’ah, i) pegadaian syari’ah, j) dana pensiun lembaga keuangan syari’ah, dan k) bisnis syari’ah.
Dalam penjelasan Pasal tersebut antara lain dinyatakan: “Yang dimaksud dengan “antara orang-orang yang beragama Islam” adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama sesuai ketentuan Pasal ini.”
Dari penjelasan Pasal 49 tersebut, maka seluruh nasabah lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syariah, atau bank konvensional yang membuka unit usaha syariah dengan sendirinya terikat dengan ketentuan ekonomi syariah, baik dalam pelaksanaan akad maupun dalam penyelesaian perselisihan.
Adapun sengketa di bidang ekonomi syariah yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama adalah:
  1. Sengketa di bidang ekonomi syariah antara lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syariah dengan nasabahnya;
  2. Sengketa di bidang ekonomi syariah antara sesame lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syariah;
  3. Sengketa di bidang ekonomi syariah antara orang-orang yang beragama Islam, yang mana akad perjanjiannya disebutkan dengan tegas bahwa kegiatan usaha yang dilakukan adalah berdasarkan prinsip-prinsip syariah.
Selain dalam hal kewenangan sebagaimana diuraikan di atas, Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 juga mengatur tentang kompetensi absolute (kewenangan mutlak) Pengadilan Agama. Oleh karena itu, pihak-pihak yang melakukan perjanjian berdasarkan prinsip syariah (ekonomi syariah) tidak dapat melakukan pilihan hukum untuk diadili di Pengadilan yang lain. Apalagi, sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Umum UU No. 3 Tahun 2006 alenia ke-2, pilihan hukum telah dinyatakan dihapus.
Oleh karena itu dalam draft-draft perjanjian yang dibuat oleh beberapa perbankan syariah berkaitan dengan perjanjian pembiayaan murabahah, akad mudharabah dan akad-akad yang lain yang masih mencantumkan klausul Penyelesaian sengketa di Pengadilan Negeri apabila BASYARNAS tidak dapat menyelesaikan sengketa maka seharusnya jika mengacu pada Penjelasan Umum UU No. 3 Tahun 2006 alenia ke-2, maka klausul tersebut dirubah menjadi kewenangan Pengadilan Agama dalam menyelesaikan sengketa tersebut.


[1] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah (Terjemahan Jilid 13), (Bandung:PT. Al-Ma’arif), 1997, hal. 189.
[2] Karnaen Perwataatmadja dkk., Op.Cit., hal. 292.
[3] Suyud Margono, ADR dan Arbitrase (Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum), (Jakarta:Ghalia Indonesia), 2000, hal. 82
[4] Suhartono, Prospek Legislasi Fikih Muamalah Dalam Sistem Hukum Nasional,      www.Badilag.net tgl. 31-10-2007
[5] Abdul Manan, Beberapa Masalah Hukum dalam Praktek Ekonomi Syariah, Makalah Diklat Calon Hakim Angkatan-2 di Banten, 2007, hal. 8
[6] Ibid, hal. 9.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar